Powered By Blogger

Jumat, 11 Februari 2011

Delik Pers Dalam Hukum Pidana Indonesia

Transformasi Indonesia ke dalam suatu sistem bernegara yang lebih demokratis telah banyak membuahkan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan rakyat Indonesia. Adapun, perubahan-perubahan tersebut bukan berarti tanpa ada pergesekan antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru, yang kadang kala tereskalasi menjadi suatu masalah sosial dan hukum. Namun bagaimanapun juga halangan dan masalah yang terjadi dalam proses perubahan biarlah tetap menjadi suatu bagian dari proses alamiah perjalanan suatu sistem bernegara menuju ke arah yang jauh lebih baik.
Berbicara mengenai perubahan dalam dunia pers menjadi suatu hal yang pada saat ini berada dalam suatu persimpangan dan dikotomi, apakah akan dianut kebebasan pers secara murni sebagaimana di negara-negara industri atau barat, ataukah pers yang akan tetap berada dalam batasan hukum, yang dalam hal ini adalah batasan hukum pidana. Belum lama ini, kasus Tempo vs Tommy Winata telah mengguncang dunia pers Indonesia, dimana wartawan telah diputus bersalah oleh Pengadilan karena pemberitaan yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang. Fakta tersebut kemudian berujung pada pertanyaan, apakah pers dalam hal ini wartawan dapat dipidana ketika ia menjalankan profesinya? Ataukah seharusnya pers diberikan jaminan akan kebebasan secara utuh bebas dari hukum pidana ketika ia menjalankan profesinya? Hal tersebut menjadi suatu kajian yang menarik untuk ditelaah karena hal tersebut merupakan bagian dari “masalah” transformasi Indonesia menuju negara yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi hukum.
Kebebasan pers tidak terelakkan lagi merupakan suatu unsur penting dalam pembentukan suatu sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan. Pers sebagai media informasi merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu negara. Oleh karena itu sudah seharusnya jika pers sebagai media informasi dan juga sering menjadi media koreksi dijamin kebebasannya dalam menjalankan profesi kewartawananya. Hal ini penting untuk menjaga obyektifitas dan transparansi dalam dunia pers, sehingga pemberitaan dapat dituangkan secara sebenar-benarnya tanpa ada rasa takut atau dibawah ancaman, sebagaimana pada masa Orde Baru.
Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum.
Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, bagaimanapun juga asas persamaan dihadapan hukum tetap berlaku terhadap semua warga negara Indonesia termasuk para wartawan, yang notabene adalah insan pers. Asas persamaan di hadapan hukum tersebut juga diatur secara tegas dalam UUD 1945 yang telah diamandemen yaitu di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1). Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan (immune) sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia.
Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti kebebasan pers telah dikekang oleh undang-undang. Justru, konsep berpikir yang harus dikembangkan adalah perangkat perundang-undangan tersebut dibuat dan diberlakukan dengan tujuan untuk membentuk pers yang seimbang, transparan dan profesional.
Bagaimanapun juga harus diakui bahwa pers di Indonesia belum seluruhnya telah menerapkan suatu kualitas pers yang profesional dan bertanggung jawab dalam membuat pemberitaan. Jika, pers dibiarkan berjalan tanpa kontrol dan tanggung jawab maka hal tersebut dapat berpotensi menjadi media agitasi yang dapat mempengaruhi psikologis masyarakat yang belum terdidik, yang notabene lebih besar jumlahnya dibanding masyarakat yang telah terdidik. Oleh karena itu kebebasan pers perlu diberikan pembatasan-pembatasan paling tidak melalui rambu hukum, sehingga pemberitaan yang dilakukan oleh pers, dapat menjadi pemberitaan pers yang tidak semena-mena dan dapat dipertanggung jawabkan.
Yang menjadi masalah dalam pemberitaan pers adalah jika pemberitaan pers digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita (news), dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan (opzet) dan unsur kesalahan (schuld) yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Jadi yang perlu ditekankan disini adalah, pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan penghinaan atau fitnah dengan menggunakan pemberitaan pers sebagai media. Berlakunya pidana terhadap pers dimaksudkan agar pemberitaan yang dilakukan berlangsung secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral.
 
Kebebasan Pers di Indonesia
Sejarah muncul dan berkembangnya Hak Asasi Manusia sejalan pula dengan perkembangan kehidupan sosial suatu bangsa. Kemerdekaan pers  adalah  perjuangan  demokrasi  yang  harus  dijaga  dan dipertahankan. Dibawah Pasal 28 F Amandemen II UUD Republik  Indonesia Tahun 1945, secara legal konstitusional telah menjamin kemerdekaan pers di Indonesia dengan sangat kuat. Selain  jaminan  konstitusional  berbagai  peraturan  perundang-undangan  lainnya  juga  mengatur  dan  melindungi  kemerdekaan  pers  antara  lain dapat  di  temukan di TAP MPR RI No XVII/MPR/1998 tentang  Piagam  Hak Asasi Manusia, UU No 39 Tahun 1999 tentang  Hak Asasi  Manusia,  UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan UU No 12 Tahun 2005 tentang  pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak – hak Sipil dan Politik.
Kemerdekaan pers merupakan salah satu unsur penting untuk mewujudkan kehidupan bernegara yang demokratis. Dibawah UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers dinyatakan bahwa “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia”. UU Pers juga menyatakan dengan tegas bahwa “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”. UU Pers juga menyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara oleh karena itu tidak dikenakan pembredelan, penyensoran, atau pelarangan penyiaran dan untuk menjamin kemerdekaan tersebut pers mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Namun demikian, berbagai perlindungan hukum tersebut seolah tak berarti dengan masih adanya proses kriminalisasi terhadap pers. Meskipun Ketua Mahkamah Agung, Bagirmanan, pada 19 September 2004 pada saat pelantikan para ketua Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa : “Agar para Hakim berhati-hati dalam mengadili pers, jangan sampai tangan hakim berlumuran memasung kemerdekaan Pers yang akan mematikan demokrasi. Pers yang bebas bukan hanya instrumen demokrasi, tetapi sekaligus penjaga demokrasi”.
Tetapi proses hukum terhadap pers dan jurnalis menunjukkan bagaimana instrumen hukum beserta aparat penegak hukum telah menjadi ancaman serius terhadap pers dan jurnalis serta prinsip kemerdekaan pers. Vonis terhadap karya Jurnalistik, dengan menggunakan KUHP merupakan peristiwa yang memilukan. Hukuman pidana terhadap jurnalis atau lembaga pers bukan hanya merongrong kemerdekaan pers tetapi sekaligus juga membungkam kebebasan berekspresi dari masyarakat dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Di tengah upaya untuk melakukan pembaharuan hukum yang lebih mengedepankan nilai-nilai Hak Asasi Manusia di Indonesia, perubahan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) justru semakin memperkuat sifat represif produk hukum warisan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ketentuan-ketentuan pidana yang sejatinya digunakan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk membungkam para pejuang kemerdekaan ini masih dapat dipergunakan untuk memproses perkara pers seperti yang menimpa wartawan Radar Jogja, Rakyat Medeka, Tempo, dan saat ini Rakyat Merdeka Online.
Dengan sering dipakainya KUHP untuk menghukum pers dan jurnalis ditambah tiadanya upaya pemerintah untuk menghapus produk hukum kolonial tersebut telah menunjukkan rendahnya komitmen elit politik di Indonesia terhadap kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi. Itulah sebabnya pada 2004 Reporters Sans Frontieres menempatkan Indonesia pada urutan 117 (2004) dan 102 (2005) diantara 167 negara.
Hukum di Indonesia
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Di Indonesia pers mendapat perhatian dan ruang hukum dalam ranah hukum di negara ini. Bukan berarti kebebasab pers dikekang, akan tetapi hukum untuk mengatur segala kehidupan masyarakat. Kemerdekaan media bukan berarti kemerdekaan bagi media massa untuk menyiarkan informasi tanpa batas. Prinsip kemerdekaan pers dianggap vital karena kegunaan dan kemanfaatanya dalam masyarakat demokrasi, yaitu: mencari kebenaran, kontrol sosial dan partisipasi politik.
Pers dalam segala pemberitaan tidak boleh sembarangan memunculkan berita dalam masyaakat. Ada dua bentuk kontrol sebagai filter pemberitaan pers:
1.    Kontrol Formal: Peraturanperundangan (Undang-undang, Regulasi yang dikeluarkan Badan Regulator), Lembaga sensor.
2.    Kontrol Informal: Self Regulation, Kode Etik dan Tekanan Masyarakat.
Adapun perhatian terhadap pers ditunjukan dengan adanya hukum di Indonesia. Menurut Ade Armando, dalam Seminar Nasional ”Mengurai Delik Pers Dalam RUU KUHP“ di Hotel Sofyan Betawi, Kamis, 24 Agustus 2006, menyatakan hukum di Indonesia terbagi menjadi empat, yaitu:
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2.    UU Pers.
3.    UU Penyiaran.
4.    Peraturan-perundangan lain.

Tentang Delik Pers
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia delik berarti: “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”. Perbuatan yang dapat dihukum menurut undang-undang pidana contohnya seperti : Mencuri, membunuh, overspel, korupsi, dan sebagainya.
Delik pers adalah tindak pidana berupa pernyataan pikiran atau perasaan yang dilakukan memakai alat cetak. Delik itu menjadi sempurna karena dilakukan memakai publikasi. Karena suatu tindak pidana dilakukan memakai alat cetak atau publikasi, maka hal itu menjadi delik pers. Jadi pers tidak mempunyai posisi yang istimewa menyangkut tindak pidana yang dilakukan. Contoh, ketika saya menyatakan, "Orang-orang yang ada di dalam pemerintahan Megawati ini semuanya maling". Secara pribadi, saya bisa dijerat pasal-pasal pidana. Tapi kalau ucapan itu dilakukan oleh pers, maka orang-orang pers itulah yang terkena pasal. Jadi subjek hukum jangan dibedakan antara orang pers atau masyarakat sipil.
Namun, di dalam kasus pers, yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, ada code of conduct lebih khusus bagi penegak hukum. Ada yang disebut dengan hak jawab dan hak koreksi. Kalau hak jawab dan hak koreksi sudah dimuat secara proporsional, itu sudah selesai masalahnya. Mahkamah Agung harus memberikan fatwa, bahwa khusus menyangkut delik pers, tidak boleh langsung dituntut, tapi hak jawab dan hak koreksi harus ditegakkan terlebih dulu. Kalau hak jawab sudah dikirimkan orang-orang yang merasa dirugikan atas pemberitaan pers, tapi ternyata tidak dimuat, maka itulah tindak pidana yang dilakukan oleh pers. Pers yang mengabaikan hak jawab sama halnya melakukan tindak pidana.
Unsur-unsur delik merupakan perumusan, rincian ataupun gambaran dari suatu perbuatan, peristiwa atau apapun namanya yang dapat dihukum menurut undang-undang pidana. Unsur-unsur delik inilah yang menjadi materi pokok yang harus dibuktikan kebenarannya dalam suatu persidangan.
Sebagai contoh, Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan yang isinya:
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
Hukum pidana mempunyai ketentuan yang berhubungan dengan apa yang dikenal sebagai tindak pidana pers yang merupakan bagian dari tindak pidana dengan mempergunakan alat cetak (drukpers misdrijven). Oemar Seno Adji memberikan tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu tindak pidana pers (delik pers), yaitu:
1.      Ia harus dilakukan dengan barang cetakan.
2.      Perbuatan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan.
3.      Dari perumusan delik harus ternyata bahwa publikasi merupakan suatu syarat untuk menumbuhkan kejahatan, apabila kenyataan tersebut dilakukan dengan suatu tulisan.
Kriteria yang ketigalah yang khusus dapat mengangkat suatu delik menjadi delik pers, sehingga tanpa dipenuhinya kriteria tersebut, suatu delik tidak akan memperoleh sebutan sebagai delik pers dalam arti juridis. (Oemar Seno Adji, Pers dan Aspek-aspek Hukum, Erlangga, 1977, dikutip dalam Rudi S. Mukantardjo, Tindak Pidana Pers Dalam R KUHP Nasional, makalah, 2006).
Delik Pers Dalam KUHP
Delik Pers dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dapat diklasifikasi menjadi beberapa bagian yaitu: 
1.      Pembocoran Rahasia Negara (Pasal 112 dan 113). Lama pidana pelanggaran pasal ini selama-lamanya maximal 7 tahun penjara.
2.      Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (psl 134). Tindak pidana pelanggaran ini dihukum selama 6 tahun penjara.
3.      Penghinaan terhadap Kepala Negara Sahabat (psl 142). Tindak pidana pelanggaran ini dihukum selama 5 tahun penjara.
4.      Penghinaan terhadap Wakil Negara Asing (psl 143). Tindak pidana pelanggaran ini dihukum selama 5 tahun penjara.
5.      Permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 154 dan 207).  Tindak pidana pelanggaran ini dihukum selama 4 tahun penjara.
6.      Pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan golongan (psl 156). Tindak pidana pelanggaran ini dihukum selama 7 tahun penjara.
7.      Pelanggaran kesusilaan (Pasal 282 dan 283). Tindak pidana pelanggaran ini dihukum selama 1 tahun enam bulan penjara.
8.      Penyerangan / pencemaran kehormatanatas nama baik seseorang (kecuali jikadilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri) (psl 310).  Tindak pidana pelanggaran ini dihukum selama 9 tahun penjara.
9.      Perasaan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama dan dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan yang Maha Esa (Pasal 156a). Tindak pidana pelanggaran ini di hukum selama 5 tahun hukuman penjara.
10.  Penghasutan untuk melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti ketentuan Undang-Undang (Pasal 160). Tindak pidana pelanggaran ini dihukum selama 6 tahun penjara.

Delik Pers dalam R KUHP 
1.      Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (Pasal 212, 213, 214, 221, 222, 229, 230, 232)
2.      Kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 265 dan 266)
3.      Kejahatan Terhadap Negara Sahabat (Pasal 271, 272, 273, 274)
4.      Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum (Pasal 283, 284, 285, 287, 288, 289, 291, 292, 307, 308, 342, 345, 346)
5.      Kejahatan Terhadap Proses Peradilan (Pasal 327 dan 32)
6.      Kejahatan Terhadap Penguasa Umum (Pasal 407 dan 40)
7.      Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Pasal 470, 471, 472, 474, 476, 483, 484)
8.      Penghinaan (Pasal 531, 532, 534, 536, 537, 539, 540, 542, 543)
9.      Kejahatan Penerbitan dan Percetakan (Pasal 739, 740, 741)
10.  Pencabutan Hak Untuk Menjalankan Profesi (Pasal 91)
Delik Pers diluar KUHP
a.      Undang-undang  Pers Pasal 5
1.      Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
2.      Pers wajib melayani Hak Jawab.
3.      Pers wajib memiliki Hak Tolak.
(Pidana Denda Maksimal Rp 500 juta)

Pasal 4 ayat (2) dan (3)
1.      Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
2.      Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
(Pidana 2 tahun penjara, Denda Rp. 500 juta)
b.      Dewan Pers
Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen (UU Penyiaran, Pasal 15). Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
1.      Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.
2.      Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.
3.      Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
4.      Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
c.       UU Penyiaran 2002: Pidana
Pidana selama 5 tahun dengan  denda sebesar  Rp. 5 miliar untuk stasiun Radio atau sebesar Rp. 10 miliar Televisi:
1.      Siaran berisi: fitnah, hasutan, menonjolkan, unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, mempertentangkan SARA.
2.      Siaran yang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

d.      UU Penyiaran 2002
1.      Menetapkan pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia sebagai badan independen pembuat regulasi penyiaran.
2.      KPI harus menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standard Program Siaran (P3/SPS).
e.       Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran P3/SPS
1.      P3/SPS menetapkan:
a.       Apa yang diizinkan dan tidak diizinkan dalam proses pembuatan program tayangan
b.      Apa yang diizinkan dan tidak diizinkan termuat dalam program tayangan
2.      P3/SPS wajib dipatuhi setiap lembaga penyiaran
f.       Prinsip Jurnalistik dalam P3/SPS
1.      Akurat.
2.      Adil: praduga tak bersalah, hak yang dikritik untuk menjawab.

3.      Tidak Berpihak/Netral: pembawa acara/moderator harus berusaha agar narasumber dapat secara baik mengekspresikan pandangannya.
4.      Memperlakukan narasumber dengan fair.
g.      Peliputan Kekerasan
1.      Gambar luka-luka yang diderita korban kekerasan, kecelakaan, dan bencana tidak boleh disorot secara close up.
2.      Gambar korban kekerasan tingkat berat, serta potongan organ tubuh korban dan genangan darah yang diakibatkan tindak kekerasan, kecelakaan dan bencana, harus disamarkan.
h.      Privasi
Pelaporan mengenai konflik dan hal-hal negatif dalam keluarga, misalnya konflik antar anggota keluarga, perselingkuhan, dan perceraian harus disajikan dalam cara tidak berlebihan dan senantiasa memperhatikan dampak yang mungkin ditimbulkan terhadap keluarga yang terkait maupun terhadap masyarakat luas.

Kesimpulan
Kemerdekaan menyatakan pendapat merupakan hak rakyat dan merupakan media untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, harus dipertahankan oleh rakyat dari tindakan-tindakan yang secara langsung atau tidak langsung dapat mengurangi atau meniadakan keberadaan dan makna kemerdekaan itu. Tindakan yang secara langsung atau tidak langsung dapat mengurangi atau meniadakan kemerdekaan itu berasal dari dua hal. Pertama adalah tindakan yang dilakukan oleh pihak di luar yang menyatakan pendapat (sasaran kritik) sehingga berakibat mengurangi atau bahkan meniadakan kemerdekaan itu. Kedua, tindakan yang dilakukan oleh pihak yang menyatakan pendapat sehingga menimbulkan bentuk tindakan penyalahgunaan pelaksanaan dari kemerdekaan itu.
Dengan adanya potensi tindakan-tindakan yang dapat mengurangi atau bahkan meniadakan makna dari kemerdekaan tersebut, maka usaha yang rasional dari rakyat adalah menuntut adanya jaminan hukum tidak adanya tindakan yang secara langsung atau tidak langsung berakibat tidak merdekanya rakyat dalam melaksanakan kemerdekaan menyatakan pendapat dalam bentuk kritik terutama yang ditujukan terhadap pemerintah (penguasa). Juga diperlukan adanya aturan untuk mencegah jangan sampai terjadi penyalahgunaan dalam pelaksanaan dari kemerdekaan itu
Di dalam segala tindakan sosial diperlukan adanya batas-batas untuk kemerdekaan itu. Batas ini mempunyai nilai perlindungan baik bagi pihak yang menyatakan pendapat, maupun bagi pihak yang menjadi sasaran atau obyek dari pernyataan pendapat tersebut. Pihak di sini dapat diartikan perseorangan, kelompok atau golongan masyarakat, dan bahkan juga negara.
Batas-batas tersebut adalah hukum, bilamana yang dimaksudkan sebagai hukum adalah “keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.” atau “hukum bertugas sebagai penjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan masyarakat seperti pendapat dari Utrecht”. Dalam persoalan yang berhubungan dengan kebebasan pers maka tidak ada yang dinamakan dengan kebebasan yang mutlak. Kebebasan yang dimiliki oleh seseorang akan berhenti apabila melanggar kebebasan orang lain atau melanggar kepentingan umum.  Kebebasan orang lain atau melanggar kepentingan umum terrefleksikan di dalam hukum.
Selama ini pers merupakan bagian dari demokrasi. Kebebasan bagi pers bukan berarti pers diperbolehkan melakukan kegiatan sebebas-bebasnya, akan tetapi pers dituntut untuk selalu memperhatikan nilai-nilai moral dan dengan tanpa mengusik hak asasi manusia. Keberadaan delik pers dalam KUHP, UU Pers maupun peraturan-peraturan lain soal pers dimaksud untuk memfilter atau mengontrol pers agar tindakan pers dapat dijalankan sewajarnya. Pers harus profesional, bebas, tapi tetap bertanggung jawab kepada hukum.

Refrensi :
Assegaff, Djafar H. 2002. Perlawanan dalam Kungkungan. Jakarta: Spora Pustaka
Heryanto, Areil dkk. 1994. Pers Hukum dan Kekuasaan. Yogjakarta: Bentang
Wahidin, Samsul. 2006. Hukum Pers. Yogjakarta: Pustaka Pelajar
Wiryawan, Hary. 2007. Dasar-dasar Hukum Media. Yogjakarta: Pustaka Pelajar

Mengelola Pers Kampus Yang Kritis Tapi Tetap Etis


Pers kampus atau juga biasa disebut sebagai pers mahasiswa (persma) merupakan sebuah lembaga jurnalisme yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan kampus. Sebuah lingkungan dimana nilai-nilai intelektualitas dijunjung tinggi serta selalu mengedepankan cara berpikir ilmiah dan maju. Pembacanyapun jelas, bukan hanya mereka yang menjadi bagian dari civitas akademika kampus, namun juga masyarakat luas, tergantung pada target audience mana yang hendak dibidik. Adapun soal biaya produksi/cost production biasanya ditanggung oleh pendanaan dari kampus dan pemasangan iklan.
Seperti pers umum, persma juga memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan kebenaran, sehingga dalam prakteknya tidak ada alasan untuk tidak menyajikan fakta atau kebenaran pada pembacanya. Persma harus independen dan dalam penyajian berita selalu berpegang pada rinsip cover both sides atau bahkan cover all sides untuk menjaga obyektivitas dan data yang berimbang. Namun, karena dana penerbitan masih disuplay dari pihak kampus, maka seringkali independensi dan obyektivitas persma agak terganjal, terutama ketika hendak mengkritisi kebijakan birokrat kampus.
Sekitar tahun 1950-an dalam sistem demokrasi liberal persma mengalami masa subur dengan sudut pandang ilmiah dan bobot berita yang didasari oleh hasil riset. Namun di tahun 1860-an sempat mati suri dan di tahun 1970-an persma kembali mengalami masa keemasan, sehingga eksistensinya sangat diakui bahkan disegani dan ”ditakuti” oleh beberapa kelompok status quo yang antikritik. Suaranya yang lantang dan berani mampu membawa perubahan kondisi politik bahkan ekonomi dan sosial bangsa Indonesia saat itu. Profesionalisme pelaku persma turut berpengaruh pada masa itu, sehingga media tersebut (persma) sangat populer tidak hanya dikalangan  mahasiswa tapi juga masyarakat umum. Tercatat waktu itu Harian KAMI dan Mimbar Demokrasi sempat beroplah sekitar 30 ribu eksemplar hingga 70 ribu eksemplar. Sungguh sebuah angka yang cukup fantastis untuk sebuah pers kampus saat ini.
Sayangnya, ”beda generasi beda tradisi” turut mewarnai pertumbuhan dan perkembangan persma saat ini. Model kurikulum perkuliahan yang semakin padat, serta adanya pergeseran budaya dan gaya hidup mahasiswa sekarang menjadikan antusiasme pada praktek jurnalistik kampus agak berkurang. Sepertinya memang ada banyak sekali lembaga pers kampus/ mahasiswa, bahkan hampir semua PTN dan PTS memilikinya, namun tidak semuanya menyadari bahwa persma sebenarnya mampu menjadi wadah yang sangat produktif untuk menempa intelektualitas dan menanamkan idealisme moral bagi pelakunya sebelum terjun sebagai seorang jurnalis yang profesional. Sehingga dimanfaatkan secara maksimal oleh para pelaku persma untuk belajar banyak hal (jurnalisme).
Memang kembang kempisnya pertumbuhan pers kampus bukan hanya disebabkan oleh faktor internal kampus sebagi sebuah lembaga yang memayungi pers kampus, namun juga faktor eksternal, yang salah satunya adalah apresiasi pemerintah dan masyarakat luas yang kurang pada lembaga pers kampus. Gaungnya kalah dengan industrialisasi media umum yang cenderung mengarah pada komersialisme dan kapitalisme.
Saat ini, popularitas mungkin bukanlah satu tujuan utama sebuah persma ata pers kampus, namun lebih pada bagaimana agar persma tetap eksis dan mampu menunjukkan profesionalismenya sebagai  jurnalistik kampus yang independen dan obyektif, serta selalu mengedepankan kebenaran.

1.      Keberadaan & Eksistensi Pers Kampus
Pers sebagai sebuah lembaga merupakan suatu oranisasi yang membutuhkan pengelolaan secara serius. Seperti halnya sebuah organisasi, lembaga pers juga membutuhkan struktur organisasi yang jelas, visi, misi, tujuan, konsep dan format media, target audience, content yang akan disajikan (berkaitan dengan rubrikasi), dan pendanaan. Sehingga dalam menjalankan sebuah pers kampus perlu yang namanya manajemen.
Secara konseptual manajemen adalah suatu ilmu dan seni mengelola sebuah organisasi agar tujuannya tercapai secara efektif dan efisien. Ada dua alasan yang menyebabkan pers perlu dikelola dengan pendekatan manajemen, yakni; (1) perspektif organisasi/ perusahaan: pers dianggap sebagai institusi yang melakukan aktivitas administrasi, organisasi dan kepemimpinan., (2)  perspekif produk: proses produksi/ proses jurnalistik yang menggunakan sejumlah fungsi manajemen (forecasting – reporting).
Sebenarnya sistem kerja pers kampus tidaklah jauh berbeda dengan pers pada umumnya. Mulai dari rapat redaksi, menentukan headline, news covering, penetapan deadline, proses editing, pemilihan gaya selingkung, persiapan berita agar fit to print (layak cetak), proses cetak, hingga pendistribusian. Hanya saja untuk pengelolaan pers kampus dalam beberapa hal (secara kelembagaan ) agak berbeda dengan pers umum, apalagi pers yang komersil.
Dalam pengelolaan sumber daya manusia (SDM), pers kampus memiliki keterbatasan tim. Masa studi mahasiswa yang terbatas (rata-rata maksimal lulus dalam waktu 5 tahun) menjadikan SDM pers kampus tidak bisa menetap (personal quality), sehingga diperlukan adanya rekruitmen dan pengkaderan yang berkelanjutan. SDM pers kampus yang mayoritas adalah dosen dan mahasiswa, yang juga memiliki kesibukan mengajar dan kuliah selain mengelola pers kampus, juga memaksa mereka untuk lebih ketat dalam mengatur waktu. Latar belakang pelaku pers kampus dari berbagai lembaga ekstra juga akan mempengaruhi obyektivitas berita. Rendahnya budaya membaca dan menulis dari civitas akademika akan berpengaruh pula pada keberlangsungan sebuah per kampus. Selain itu, kapitalisme media, yakni yang berkaitan dengan penyandang dana atas produksi sebuah pers kampus juga sangat berperan dalam ”mengontrol” kebebasan pers kampus dalam menyuarakan kebenaran. Untuk itulah perlunya mengelola pers kampus secara serius dengan pendekatan manajemen pers yang profesional.
Pers sebagai sebuah organisasi penerbitan yang memiliki tujuan, yakni menyajikan informasi yang dibutuhkan oleh pembacanya, maka sangat perlu untuk dikelola secara optimal, agar tujuan tersebut dapat tercapai dalam pengelolaan pers ada beberapa hal yang harus dikelola secara serius, yakni modal, SDM/ pelaku pers kampus, isi sajian, khalayak pembaca, serta perangkat keras dan lunak yang mendukung.
Penciptaan image tak kalah pentingnya dalam mengelola sebuah pers kampus. Hal ini dapat ditelusuri dari visi dan misi serta tujuan media, serta konsistensi dalam penyajian media (termasuk isinya). Penetapan visi haruslah SMART (specific, measurable, achievable, relevant, and timed). Penciptaan image, bisa dilakukan mulai dari perwajahan medianya, penulisan brand name, brand symbol, dan brand slogan, serta gaya selingkung dari media tersebut. Tentunya itu semua juga tidak dapat dengan mudah terwujud jika belum adanya kesamaan visi dari seluruh tim. mengingat, kerja media adalah kerja tim, bukan kerja masing-masing orang, apalagi bertujan untuk “unjuk gigi’ atas kemampuan seorang tim sebagai diri sendiri. Team work yang solid adalah modal utama dalam mengelola sebuah pers kampus.
Kebijakan redaksi merupakan dasar pertimbangan suatu lembaga pers (termasuk pers kampus) untuk menentukan sikap atas suatu masalah aktual yang sedang berkembang. Sikap media sangatlah penting, karena dalam suatu peristiwa masyarakat tidak cukup dengan hanya memperoleh sajian informasi, namun lebih dari itu, yakni sikap media atas masalah tersebut. Hal itu dapat menunjukkan eksistensi dan kredibilitas serta profesionalitas media. Dan dengan sendirinya reputasi media akan terbentuk.
Koordinasi dalam rapat redaksi juga memiliki andil yang sangat besar dalam menentukan langkah berikutnya dari sebuah kegiatan jurnalistik kampus. Lemahnya koordinasi dalam rapat redaksi memungkinkan adanya over load dan over laping sebuah liputan. Mungkin satu event diliput lebih dari satu orang reporter, dan memungkinkan adanya event atau peristiwa yang luput tidak tercover. Perasaan senioritas yang tinggi (merasa lebih lama dan berpengalaman) juga akan membahayakan kelangsungan atas media kampus. Sehingga dalam pengelolaan pers kampus harus benar-benar berangkat dari visi yang sama serta semangat dan disiplin yang tinggi.
Sistem kerja yang selalu dikejar deadline, membutuhkan mental dan fisik yang kuat. Namun jangan sampai deadline dijadikan alasan  untuk menyajikan berita yang tidak “bermutu”, justru lebih baik terlambat sehari  dalam penerbitan tapi kualitas dan obyektifitas berita tetap terjaga. Memang idealnya terbit sesuai jadwal dan isinya “garang” (baca:berkualitas), tapi setidaknya pers kampus harus konsisten untuk tidak menyajikan berita yang asal-asalan.
Pers kampus memiliki struktur yang hampir sama dengan pers pada umumnya, ada pemimpin umum, pemimpin redaksi yang memimpin divisi/ bidang redaksi, pemimpin usaha yang memimpin divisi usaha (mencari pengiklan, sirkulasi dan  pendistribuasian), dan divisi percetakan. Hanya saja dalam pers kampus lebih ditekankan pada aktivitas keredaksiannya, mulai dari menentukan tema, memburu berita, hingga melakukan setting layout. Kebanyakan pers kampus menyerahkan proses cetak pada perusahaan percetakan yang telah dipercaya dan dianggap mampu mencetak dengan kualitas yang bagus, karena memang jarang kampus yang memiliki percetakan sendiri.
Hal lain yang tidak kalah penting bagi pers kampus adalah adanya independensi. Memang untuk sebuah pers kampus yang masih menggantungkan pendanaan dari kampus akan sedikit mendapat tekanan dari pihak kampus. Biasanya merasa serba salah ketika akan mengkritik kebijakan kampus atau pihak rektorat. Namun hal itu bisa diminimalisir dengan tetap dan selalu memegang teguh kode etik jurnalistik yang ada. Kampus sebagai suatu lingkungan yang sarat akan nilai-nilai intelektualitas, tentunya akan bisa secara terbuka dan demokratis dalam menanggapi kritik yang konstruktif. 

2.      Pers Kampus; ”corong” Birokrat Kampus ataukah ”corong” Mahasiswa?
            Beberapa pendapat menyebut bahwa pers kampus berbeda dengan pers mahasiswa. Jika pers kampus, maka lebih dianggap sebagai ”corong” kampus, sedangkan pers mahasiswa identik dianggap sebagai pers alternatif yang dijadikan mahasiswa sebagai media berekspresi. Sehingga pers kampus dianggap tidak kritis karena hanya menyajikan informasi dan kegiatan yang positif (baik-baik saja), sedangkan pers mahasiswa dinilai lebih garang. Sebenarnya pers kampus dan pers mahasiswa adalah sama, sama-sama tumbuh dalam lingkungan kampus, dimana sangat dekat dengan kehidupan civitas akademika yang serba ilmiah dan logis. Sehingga pers kampus merupakan wadah untuk saling menyampaikan dan saling mengontrol, tidak hanya antara birokrat kampus dan mahasiswa, namun juga untuk menunjukkan adanya respon dan kepekaan civitas akademika pada fenomena politik, sosial, dan ekonomi bangsa secara lebih luas.
          Jika ditinjau secara kelembagaan, beberapa struktur organisasi pers kampus memang melibatkan birokrat kampus. Dan seringkali hal tersebut akan mengurangi   iindependensi dan ”kebebasan” pers kampus, namun bukan kemudian hal ini dijadikan alasan pers kampus untuk tidak kritis. Biasanya, salah satu faktor yang melatarbelakangi didirikannya lembaga pers kampus adalah untuk menjaga dinamika kehidupan kampus itu sendiri. Dinamika yang bagaimana? Tentunya dinamika yang positif dan konstruktif. Sehingga tidak ada alasan untuk menjadikan pers kampus ”mandul” dan ”posesive” , pers kampus harus selalu mengedepankan nilai-nilai kebenaran yang menjadi prinsip acuan jurnalistik.
          Dalam prakteknya, ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi isi dan sajian dari pers, termasuk juga pers kampus, yakni; Ideological level, extramedia level, organization level, media routines level, and individual level. Masing-masing memiliki andil dalam mempengaruhi media content. Sehingga memang agak sulit untuk melepaskan ideologi lembaga, organisasi, dan ideologi individu dalam praktik jurnalistik kampus. Namun setidaknya, harus selalu ada upaya untuk menjaga obyektivitas berita dengan selalu memperhatikan prinsip penulisan; acuracy, fairness, and honesty.
          Melalui sajian yang berupa tulisan, mulai dari editorial, berita, opini pembaca, hingga publikasi hasil riset, pers kampus diharapkan mampu menjadi representasi dari suatu lingkungan yang sangat kental dengan nilai-nilai intelektualitas yang tinggi. Dengan selalu mengedepankan etika dan moralitas dalam ber”jurnalistik”, tentunya akan dapat memberikan banyak manfaat bagi pelaku pers dan pembacanya.
          Pers kampus akan memiliki peran yang sangat besar dalam menciptakan intelectual atmosphere dan suasana akademik yang dinamis, jika dikelola dengan manajemen yang baik dan profesional. Masing-masing pelaku pers kampus harus mampu menjalankan tugas dan kewajiban yang telah ditentukan secara optimal. Melalui proses rekruitmen yang selektif, sosialisasi dan orientasi budaya dari lembaga pers kampus serta pemberian reward bagi yang berdedikasi, merupakan wujud dari keseriusan pengelolaan sebuah pers kampus. Dengan demikian pers kampus dapat berfungsi sebagai pengontrol baik bagi mahasiswa, kampus secara makro, bahkan masyarakat secara lebih luas. Salah satu indikator dari dinamisnya sebuah lingkungan civitas akademika (kampus), adalah terbukanya ruang untuk menyampaikan pendapat melalui lembaga persnya. Tentunya itu semua tetap pada rambu-rambu kode etik jurnalistik yang ada.

3.      Kode Etik dan Regulasi
          Pelaku pers kampus memiliki tanggungjawab yang sama dengan pelaku pers pada umumnya, memahami dan mengikuti Kode Etik Jurnalistik baik yang dirumuskan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ataupun Aliansu Jurnalis Independen (AJI), KEWI dan UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Bahkan tidak ada salahnya juga, jika pelaku pers kampus juga mengetahui dan memahami UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran serta Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 009/SK/KPI/8/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) Komisi Penyiaran Indonesia.
          Kode etik jurnalistik adalah salah satu standar untuk mengukur profesionalisme sebuah pers. Begitu juga KEWI, setidaknya ada tujuh point yang mengatur perilaku dalam melakukan aktivitas jurnalistik (termasuk dalam pers kampus) sesuai dengan moral/ etika profesi dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan.
          Menghormati hak masyarakat (pembaca) untuk memperoleh informasi yang benar, selalu etis dalam memperoleh dan menyiarkan informasi dan menghormati asas praduga tak bersalah, tidak menyalahgunakan profesi dan menerima suap dalam bentuk apapun, serta mengerti hak tolak dan hak jawab, merupakan hal penting yang harus dimengerti dan dilakukan oleh pelaku pers (wartawan).
          Fenomena yang berkembang saat ini, banyak media baru bermunculan (karena mudahnya membuat sebuah badan usaha pers, setelah SIUPP dicabut), setidaknya sekitar awal tahun 2004 hingga akhir tahun 2005 lebih dari 350 media cetak baru (lokal dan nasional) muncul (mulai dari surat kabar, majalah, tabloid, maupun newsletter). Sayangnya sebagian besar dari media-media tersebut kurang mengindahkan kode etik dan regulasi yang ada, dan ironisnya lembaga yang bertanggungjawab mengawasi dan menindak juga terkesan ”tak berbuat apa-apa”.
          Tentunya pers kampus harus berbeda dengan pers umum. Dunia akademis yang melingkupi menjadi alasan kuat untuk mengelola sebuah pers kampus sebagai suatu lembaga yang kritis namun tetap etis. Dengan manajemen yang baik dan profesional serta didukung SDM yang berkualitas, mari  kita jadikan lembaga pers kampus sebagai media untuk menyampaikan kebenaran.

Referensi 
Kovach, Bill. Tom Rossentiel, 2004, Elemen-elemen Jurnalisme, Jakarta: ISAI 
Shoemaker, Pamela. 1996, Mediating the Message, New York:  Longman Publishers 
Pareno, Sam Abede. 2005, Manajemen Berita Antara Idealisme dan Realita, Surabaya :Papyrus 
Tebba, Sudirman. 2005, Jurnalistik Baru, Jakarta:  Kalam Indonesia