Powered By Blogger

Jumat, 11 Februari 2011

Mengelola Pers Kampus Yang Kritis Tapi Tetap Etis


Pers kampus atau juga biasa disebut sebagai pers mahasiswa (persma) merupakan sebuah lembaga jurnalisme yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan kampus. Sebuah lingkungan dimana nilai-nilai intelektualitas dijunjung tinggi serta selalu mengedepankan cara berpikir ilmiah dan maju. Pembacanyapun jelas, bukan hanya mereka yang menjadi bagian dari civitas akademika kampus, namun juga masyarakat luas, tergantung pada target audience mana yang hendak dibidik. Adapun soal biaya produksi/cost production biasanya ditanggung oleh pendanaan dari kampus dan pemasangan iklan.
Seperti pers umum, persma juga memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan kebenaran, sehingga dalam prakteknya tidak ada alasan untuk tidak menyajikan fakta atau kebenaran pada pembacanya. Persma harus independen dan dalam penyajian berita selalu berpegang pada rinsip cover both sides atau bahkan cover all sides untuk menjaga obyektivitas dan data yang berimbang. Namun, karena dana penerbitan masih disuplay dari pihak kampus, maka seringkali independensi dan obyektivitas persma agak terganjal, terutama ketika hendak mengkritisi kebijakan birokrat kampus.
Sekitar tahun 1950-an dalam sistem demokrasi liberal persma mengalami masa subur dengan sudut pandang ilmiah dan bobot berita yang didasari oleh hasil riset. Namun di tahun 1860-an sempat mati suri dan di tahun 1970-an persma kembali mengalami masa keemasan, sehingga eksistensinya sangat diakui bahkan disegani dan ”ditakuti” oleh beberapa kelompok status quo yang antikritik. Suaranya yang lantang dan berani mampu membawa perubahan kondisi politik bahkan ekonomi dan sosial bangsa Indonesia saat itu. Profesionalisme pelaku persma turut berpengaruh pada masa itu, sehingga media tersebut (persma) sangat populer tidak hanya dikalangan  mahasiswa tapi juga masyarakat umum. Tercatat waktu itu Harian KAMI dan Mimbar Demokrasi sempat beroplah sekitar 30 ribu eksemplar hingga 70 ribu eksemplar. Sungguh sebuah angka yang cukup fantastis untuk sebuah pers kampus saat ini.
Sayangnya, ”beda generasi beda tradisi” turut mewarnai pertumbuhan dan perkembangan persma saat ini. Model kurikulum perkuliahan yang semakin padat, serta adanya pergeseran budaya dan gaya hidup mahasiswa sekarang menjadikan antusiasme pada praktek jurnalistik kampus agak berkurang. Sepertinya memang ada banyak sekali lembaga pers kampus/ mahasiswa, bahkan hampir semua PTN dan PTS memilikinya, namun tidak semuanya menyadari bahwa persma sebenarnya mampu menjadi wadah yang sangat produktif untuk menempa intelektualitas dan menanamkan idealisme moral bagi pelakunya sebelum terjun sebagai seorang jurnalis yang profesional. Sehingga dimanfaatkan secara maksimal oleh para pelaku persma untuk belajar banyak hal (jurnalisme).
Memang kembang kempisnya pertumbuhan pers kampus bukan hanya disebabkan oleh faktor internal kampus sebagi sebuah lembaga yang memayungi pers kampus, namun juga faktor eksternal, yang salah satunya adalah apresiasi pemerintah dan masyarakat luas yang kurang pada lembaga pers kampus. Gaungnya kalah dengan industrialisasi media umum yang cenderung mengarah pada komersialisme dan kapitalisme.
Saat ini, popularitas mungkin bukanlah satu tujuan utama sebuah persma ata pers kampus, namun lebih pada bagaimana agar persma tetap eksis dan mampu menunjukkan profesionalismenya sebagai  jurnalistik kampus yang independen dan obyektif, serta selalu mengedepankan kebenaran.

1.      Keberadaan & Eksistensi Pers Kampus
Pers sebagai sebuah lembaga merupakan suatu oranisasi yang membutuhkan pengelolaan secara serius. Seperti halnya sebuah organisasi, lembaga pers juga membutuhkan struktur organisasi yang jelas, visi, misi, tujuan, konsep dan format media, target audience, content yang akan disajikan (berkaitan dengan rubrikasi), dan pendanaan. Sehingga dalam menjalankan sebuah pers kampus perlu yang namanya manajemen.
Secara konseptual manajemen adalah suatu ilmu dan seni mengelola sebuah organisasi agar tujuannya tercapai secara efektif dan efisien. Ada dua alasan yang menyebabkan pers perlu dikelola dengan pendekatan manajemen, yakni; (1) perspektif organisasi/ perusahaan: pers dianggap sebagai institusi yang melakukan aktivitas administrasi, organisasi dan kepemimpinan., (2)  perspekif produk: proses produksi/ proses jurnalistik yang menggunakan sejumlah fungsi manajemen (forecasting – reporting).
Sebenarnya sistem kerja pers kampus tidaklah jauh berbeda dengan pers pada umumnya. Mulai dari rapat redaksi, menentukan headline, news covering, penetapan deadline, proses editing, pemilihan gaya selingkung, persiapan berita agar fit to print (layak cetak), proses cetak, hingga pendistribusian. Hanya saja untuk pengelolaan pers kampus dalam beberapa hal (secara kelembagaan ) agak berbeda dengan pers umum, apalagi pers yang komersil.
Dalam pengelolaan sumber daya manusia (SDM), pers kampus memiliki keterbatasan tim. Masa studi mahasiswa yang terbatas (rata-rata maksimal lulus dalam waktu 5 tahun) menjadikan SDM pers kampus tidak bisa menetap (personal quality), sehingga diperlukan adanya rekruitmen dan pengkaderan yang berkelanjutan. SDM pers kampus yang mayoritas adalah dosen dan mahasiswa, yang juga memiliki kesibukan mengajar dan kuliah selain mengelola pers kampus, juga memaksa mereka untuk lebih ketat dalam mengatur waktu. Latar belakang pelaku pers kampus dari berbagai lembaga ekstra juga akan mempengaruhi obyektivitas berita. Rendahnya budaya membaca dan menulis dari civitas akademika akan berpengaruh pula pada keberlangsungan sebuah per kampus. Selain itu, kapitalisme media, yakni yang berkaitan dengan penyandang dana atas produksi sebuah pers kampus juga sangat berperan dalam ”mengontrol” kebebasan pers kampus dalam menyuarakan kebenaran. Untuk itulah perlunya mengelola pers kampus secara serius dengan pendekatan manajemen pers yang profesional.
Pers sebagai sebuah organisasi penerbitan yang memiliki tujuan, yakni menyajikan informasi yang dibutuhkan oleh pembacanya, maka sangat perlu untuk dikelola secara optimal, agar tujuan tersebut dapat tercapai dalam pengelolaan pers ada beberapa hal yang harus dikelola secara serius, yakni modal, SDM/ pelaku pers kampus, isi sajian, khalayak pembaca, serta perangkat keras dan lunak yang mendukung.
Penciptaan image tak kalah pentingnya dalam mengelola sebuah pers kampus. Hal ini dapat ditelusuri dari visi dan misi serta tujuan media, serta konsistensi dalam penyajian media (termasuk isinya). Penetapan visi haruslah SMART (specific, measurable, achievable, relevant, and timed). Penciptaan image, bisa dilakukan mulai dari perwajahan medianya, penulisan brand name, brand symbol, dan brand slogan, serta gaya selingkung dari media tersebut. Tentunya itu semua juga tidak dapat dengan mudah terwujud jika belum adanya kesamaan visi dari seluruh tim. mengingat, kerja media adalah kerja tim, bukan kerja masing-masing orang, apalagi bertujan untuk “unjuk gigi’ atas kemampuan seorang tim sebagai diri sendiri. Team work yang solid adalah modal utama dalam mengelola sebuah pers kampus.
Kebijakan redaksi merupakan dasar pertimbangan suatu lembaga pers (termasuk pers kampus) untuk menentukan sikap atas suatu masalah aktual yang sedang berkembang. Sikap media sangatlah penting, karena dalam suatu peristiwa masyarakat tidak cukup dengan hanya memperoleh sajian informasi, namun lebih dari itu, yakni sikap media atas masalah tersebut. Hal itu dapat menunjukkan eksistensi dan kredibilitas serta profesionalitas media. Dan dengan sendirinya reputasi media akan terbentuk.
Koordinasi dalam rapat redaksi juga memiliki andil yang sangat besar dalam menentukan langkah berikutnya dari sebuah kegiatan jurnalistik kampus. Lemahnya koordinasi dalam rapat redaksi memungkinkan adanya over load dan over laping sebuah liputan. Mungkin satu event diliput lebih dari satu orang reporter, dan memungkinkan adanya event atau peristiwa yang luput tidak tercover. Perasaan senioritas yang tinggi (merasa lebih lama dan berpengalaman) juga akan membahayakan kelangsungan atas media kampus. Sehingga dalam pengelolaan pers kampus harus benar-benar berangkat dari visi yang sama serta semangat dan disiplin yang tinggi.
Sistem kerja yang selalu dikejar deadline, membutuhkan mental dan fisik yang kuat. Namun jangan sampai deadline dijadikan alasan  untuk menyajikan berita yang tidak “bermutu”, justru lebih baik terlambat sehari  dalam penerbitan tapi kualitas dan obyektifitas berita tetap terjaga. Memang idealnya terbit sesuai jadwal dan isinya “garang” (baca:berkualitas), tapi setidaknya pers kampus harus konsisten untuk tidak menyajikan berita yang asal-asalan.
Pers kampus memiliki struktur yang hampir sama dengan pers pada umumnya, ada pemimpin umum, pemimpin redaksi yang memimpin divisi/ bidang redaksi, pemimpin usaha yang memimpin divisi usaha (mencari pengiklan, sirkulasi dan  pendistribuasian), dan divisi percetakan. Hanya saja dalam pers kampus lebih ditekankan pada aktivitas keredaksiannya, mulai dari menentukan tema, memburu berita, hingga melakukan setting layout. Kebanyakan pers kampus menyerahkan proses cetak pada perusahaan percetakan yang telah dipercaya dan dianggap mampu mencetak dengan kualitas yang bagus, karena memang jarang kampus yang memiliki percetakan sendiri.
Hal lain yang tidak kalah penting bagi pers kampus adalah adanya independensi. Memang untuk sebuah pers kampus yang masih menggantungkan pendanaan dari kampus akan sedikit mendapat tekanan dari pihak kampus. Biasanya merasa serba salah ketika akan mengkritik kebijakan kampus atau pihak rektorat. Namun hal itu bisa diminimalisir dengan tetap dan selalu memegang teguh kode etik jurnalistik yang ada. Kampus sebagai suatu lingkungan yang sarat akan nilai-nilai intelektualitas, tentunya akan bisa secara terbuka dan demokratis dalam menanggapi kritik yang konstruktif. 

2.      Pers Kampus; ”corong” Birokrat Kampus ataukah ”corong” Mahasiswa?
            Beberapa pendapat menyebut bahwa pers kampus berbeda dengan pers mahasiswa. Jika pers kampus, maka lebih dianggap sebagai ”corong” kampus, sedangkan pers mahasiswa identik dianggap sebagai pers alternatif yang dijadikan mahasiswa sebagai media berekspresi. Sehingga pers kampus dianggap tidak kritis karena hanya menyajikan informasi dan kegiatan yang positif (baik-baik saja), sedangkan pers mahasiswa dinilai lebih garang. Sebenarnya pers kampus dan pers mahasiswa adalah sama, sama-sama tumbuh dalam lingkungan kampus, dimana sangat dekat dengan kehidupan civitas akademika yang serba ilmiah dan logis. Sehingga pers kampus merupakan wadah untuk saling menyampaikan dan saling mengontrol, tidak hanya antara birokrat kampus dan mahasiswa, namun juga untuk menunjukkan adanya respon dan kepekaan civitas akademika pada fenomena politik, sosial, dan ekonomi bangsa secara lebih luas.
          Jika ditinjau secara kelembagaan, beberapa struktur organisasi pers kampus memang melibatkan birokrat kampus. Dan seringkali hal tersebut akan mengurangi   iindependensi dan ”kebebasan” pers kampus, namun bukan kemudian hal ini dijadikan alasan pers kampus untuk tidak kritis. Biasanya, salah satu faktor yang melatarbelakangi didirikannya lembaga pers kampus adalah untuk menjaga dinamika kehidupan kampus itu sendiri. Dinamika yang bagaimana? Tentunya dinamika yang positif dan konstruktif. Sehingga tidak ada alasan untuk menjadikan pers kampus ”mandul” dan ”posesive” , pers kampus harus selalu mengedepankan nilai-nilai kebenaran yang menjadi prinsip acuan jurnalistik.
          Dalam prakteknya, ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi isi dan sajian dari pers, termasuk juga pers kampus, yakni; Ideological level, extramedia level, organization level, media routines level, and individual level. Masing-masing memiliki andil dalam mempengaruhi media content. Sehingga memang agak sulit untuk melepaskan ideologi lembaga, organisasi, dan ideologi individu dalam praktik jurnalistik kampus. Namun setidaknya, harus selalu ada upaya untuk menjaga obyektivitas berita dengan selalu memperhatikan prinsip penulisan; acuracy, fairness, and honesty.
          Melalui sajian yang berupa tulisan, mulai dari editorial, berita, opini pembaca, hingga publikasi hasil riset, pers kampus diharapkan mampu menjadi representasi dari suatu lingkungan yang sangat kental dengan nilai-nilai intelektualitas yang tinggi. Dengan selalu mengedepankan etika dan moralitas dalam ber”jurnalistik”, tentunya akan dapat memberikan banyak manfaat bagi pelaku pers dan pembacanya.
          Pers kampus akan memiliki peran yang sangat besar dalam menciptakan intelectual atmosphere dan suasana akademik yang dinamis, jika dikelola dengan manajemen yang baik dan profesional. Masing-masing pelaku pers kampus harus mampu menjalankan tugas dan kewajiban yang telah ditentukan secara optimal. Melalui proses rekruitmen yang selektif, sosialisasi dan orientasi budaya dari lembaga pers kampus serta pemberian reward bagi yang berdedikasi, merupakan wujud dari keseriusan pengelolaan sebuah pers kampus. Dengan demikian pers kampus dapat berfungsi sebagai pengontrol baik bagi mahasiswa, kampus secara makro, bahkan masyarakat secara lebih luas. Salah satu indikator dari dinamisnya sebuah lingkungan civitas akademika (kampus), adalah terbukanya ruang untuk menyampaikan pendapat melalui lembaga persnya. Tentunya itu semua tetap pada rambu-rambu kode etik jurnalistik yang ada.

3.      Kode Etik dan Regulasi
          Pelaku pers kampus memiliki tanggungjawab yang sama dengan pelaku pers pada umumnya, memahami dan mengikuti Kode Etik Jurnalistik baik yang dirumuskan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ataupun Aliansu Jurnalis Independen (AJI), KEWI dan UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Bahkan tidak ada salahnya juga, jika pelaku pers kampus juga mengetahui dan memahami UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran serta Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 009/SK/KPI/8/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) Komisi Penyiaran Indonesia.
          Kode etik jurnalistik adalah salah satu standar untuk mengukur profesionalisme sebuah pers. Begitu juga KEWI, setidaknya ada tujuh point yang mengatur perilaku dalam melakukan aktivitas jurnalistik (termasuk dalam pers kampus) sesuai dengan moral/ etika profesi dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan.
          Menghormati hak masyarakat (pembaca) untuk memperoleh informasi yang benar, selalu etis dalam memperoleh dan menyiarkan informasi dan menghormati asas praduga tak bersalah, tidak menyalahgunakan profesi dan menerima suap dalam bentuk apapun, serta mengerti hak tolak dan hak jawab, merupakan hal penting yang harus dimengerti dan dilakukan oleh pelaku pers (wartawan).
          Fenomena yang berkembang saat ini, banyak media baru bermunculan (karena mudahnya membuat sebuah badan usaha pers, setelah SIUPP dicabut), setidaknya sekitar awal tahun 2004 hingga akhir tahun 2005 lebih dari 350 media cetak baru (lokal dan nasional) muncul (mulai dari surat kabar, majalah, tabloid, maupun newsletter). Sayangnya sebagian besar dari media-media tersebut kurang mengindahkan kode etik dan regulasi yang ada, dan ironisnya lembaga yang bertanggungjawab mengawasi dan menindak juga terkesan ”tak berbuat apa-apa”.
          Tentunya pers kampus harus berbeda dengan pers umum. Dunia akademis yang melingkupi menjadi alasan kuat untuk mengelola sebuah pers kampus sebagai suatu lembaga yang kritis namun tetap etis. Dengan manajemen yang baik dan profesional serta didukung SDM yang berkualitas, mari  kita jadikan lembaga pers kampus sebagai media untuk menyampaikan kebenaran.

Referensi 
Kovach, Bill. Tom Rossentiel, 2004, Elemen-elemen Jurnalisme, Jakarta: ISAI 
Shoemaker, Pamela. 1996, Mediating the Message, New York:  Longman Publishers 
Pareno, Sam Abede. 2005, Manajemen Berita Antara Idealisme dan Realita, Surabaya :Papyrus 
Tebba, Sudirman. 2005, Jurnalistik Baru, Jakarta:  Kalam Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar