Transformasi Indonesia ke dalam suatu sistem bernegara yang lebih demokratis telah banyak membuahkan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan rakyat Indonesia. Adapun, perubahan-perubahan tersebut bukan berarti tanpa ada pergesekan antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru, yang kadang kala tereskalasi menjadi suatu masalah sosial dan hukum. Namun bagaimanapun juga halangan dan masalah yang terjadi dalam proses perubahan biarlah tetap menjadi suatu bagian dari proses alamiah perjalanan suatu sistem bernegara menuju ke arah yang jauh lebih baik.
Berbicara mengenai perubahan dalam dunia pers menjadi suatu hal yang pada saat ini berada dalam suatu persimpangan dan dikotomi, apakah akan dianut kebebasan pers secara murni sebagaimana di negara-negara industri atau barat, ataukah pers yang akan tetap berada dalam batasan hukum, yang dalam hal ini adalah batasan hukum pidana. Belum lama ini, kasus Tempo vs Tommy Winata telah mengguncang dunia pers Indonesia, dimana wartawan telah diputus bersalah oleh Pengadilan karena pemberitaan yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang. Fakta tersebut kemudian berujung pada pertanyaan, apakah pers dalam hal ini wartawan dapat dipidana ketika ia menjalankan profesinya? Ataukah seharusnya pers diberikan jaminan akan kebebasan secara utuh bebas dari hukum pidana ketika ia menjalankan profesinya? Hal tersebut menjadi suatu kajian yang menarik untuk ditelaah karena hal tersebut merupakan bagian dari “masalah” transformasi Indonesia menuju negara yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi hukum.
Kebebasan pers tidak terelakkan lagi merupakan suatu unsur penting dalam pembentukan suatu sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan. Pers sebagai media informasi merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu negara. Oleh karena itu sudah seharusnya jika pers sebagai media informasi dan juga sering menjadi media koreksi dijamin kebebasannya dalam menjalankan profesi kewartawananya. Hal ini penting untuk menjaga obyektifitas dan transparansi dalam dunia pers, sehingga pemberitaan dapat dituangkan secara sebenar-benarnya tanpa ada rasa takut atau dibawah ancaman, sebagaimana pada masa Orde Baru.
Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum.
Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, bagaimanapun juga asas persamaan dihadapan hukum tetap berlaku terhadap semua warga negara Indonesia termasuk para wartawan, yang notabene adalah insan pers. Asas persamaan di hadapan hukum tersebut juga diatur secara tegas dalam UUD 1945 yang telah diamandemen yaitu di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1). Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan (immune) sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia.
Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, bagaimanapun juga asas persamaan dihadapan hukum tetap berlaku terhadap semua warga negara Indonesia termasuk para wartawan, yang notabene adalah insan pers. Asas persamaan di hadapan hukum tersebut juga diatur secara tegas dalam UUD 1945 yang telah diamandemen yaitu di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1). Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan (immune) sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia.
Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti kebebasan pers telah dikekang oleh undang-undang. Justru, konsep berpikir yang harus dikembangkan adalah perangkat perundang-undangan tersebut dibuat dan diberlakukan dengan tujuan untuk membentuk pers yang seimbang, transparan dan profesional.
Bagaimanapun juga harus diakui bahwa pers di Indonesia belum seluruhnya telah menerapkan suatu kualitas pers yang profesional dan bertanggung jawab dalam membuat pemberitaan. Jika, pers dibiarkan berjalan tanpa kontrol dan tanggung jawab maka hal tersebut dapat berpotensi menjadi media agitasi yang dapat mempengaruhi psikologis masyarakat yang belum terdidik, yang notabene lebih besar jumlahnya dibanding masyarakat yang telah terdidik. Oleh karena itu kebebasan pers perlu diberikan pembatasan-pembatasan paling tidak melalui rambu hukum, sehingga pemberitaan yang dilakukan oleh pers, dapat menjadi pemberitaan pers yang tidak semena-mena dan dapat dipertanggung jawabkan.
Bagaimanapun juga harus diakui bahwa pers di Indonesia belum seluruhnya telah menerapkan suatu kualitas pers yang profesional dan bertanggung jawab dalam membuat pemberitaan. Jika, pers dibiarkan berjalan tanpa kontrol dan tanggung jawab maka hal tersebut dapat berpotensi menjadi media agitasi yang dapat mempengaruhi psikologis masyarakat yang belum terdidik, yang notabene lebih besar jumlahnya dibanding masyarakat yang telah terdidik. Oleh karena itu kebebasan pers perlu diberikan pembatasan-pembatasan paling tidak melalui rambu hukum, sehingga pemberitaan yang dilakukan oleh pers, dapat menjadi pemberitaan pers yang tidak semena-mena dan dapat dipertanggung jawabkan.
Yang menjadi masalah dalam pemberitaan pers adalah jika pemberitaan pers digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita (news), dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan (opzet) dan unsur kesalahan (schuld) yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Jadi yang perlu ditekankan disini adalah, pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan penghinaan atau fitnah dengan menggunakan pemberitaan pers sebagai media. Berlakunya pidana terhadap pers dimaksudkan agar pemberitaan yang dilakukan berlangsung secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral.
Kebebasan Pers di Indonesia
Sejarah muncul dan berkembangnya Hak Asasi Manusia sejalan pula dengan perkembangan kehidupan sosial suatu bangsa. Kemerdekaan pers adalah perjuangan demokrasi yang harus dijaga dan dipertahankan. Dibawah Pasal 28 F Amandemen II UUD Republik Indonesia Tahun 1945, secara legal konstitusional telah menjamin kemerdekaan pers di Indonesia dengan sangat kuat. Selain jaminan konstitusional berbagai peraturan perundang-undangan lainnya juga mengatur dan melindungi kemerdekaan pers antara lain dapat di temukan di TAP MPR RI No XVII/MPR/1998 tentang Piagam Hak Asasi Manusia, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan UU No 12 Tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak – hak Sipil dan Politik.
Kemerdekaan pers merupakan salah satu unsur penting untuk mewujudkan kehidupan bernegara yang demokratis. Dibawah UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers dinyatakan bahwa “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia”. UU Pers juga menyatakan dengan tegas bahwa “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”. UU Pers juga menyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara oleh karena itu tidak dikenakan pembredelan, penyensoran, atau pelarangan penyiaran dan untuk menjamin kemerdekaan tersebut pers mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Namun demikian, berbagai perlindungan hukum tersebut seolah tak berarti dengan masih adanya proses kriminalisasi terhadap pers. Meskipun Ketua Mahkamah Agung, Bagirmanan, pada 19 September 2004 pada saat pelantikan para ketua Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa : “Agar para Hakim berhati-hati dalam mengadili pers, jangan sampai tangan hakim berlumuran memasung kemerdekaan Pers yang akan mematikan demokrasi. Pers yang bebas bukan hanya instrumen demokrasi, tetapi sekaligus penjaga demokrasi”.
Tetapi proses hukum terhadap pers dan jurnalis menunjukkan bagaimana instrumen hukum beserta aparat penegak hukum telah menjadi ancaman serius terhadap pers dan jurnalis serta prinsip kemerdekaan pers. Vonis terhadap karya Jurnalistik, dengan menggunakan KUHP merupakan peristiwa yang memilukan. Hukuman pidana terhadap jurnalis atau lembaga pers bukan hanya merongrong kemerdekaan pers tetapi sekaligus juga membungkam kebebasan berekspresi dari masyarakat dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Di tengah upaya untuk melakukan pembaharuan hukum yang lebih mengedepankan nilai-nilai Hak Asasi Manusia di Indonesia, perubahan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) justru semakin memperkuat sifat represif produk hukum warisan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ketentuan-ketentuan pidana yang sejatinya digunakan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk membungkam para pejuang kemerdekaan ini masih dapat dipergunakan untuk memproses perkara pers seperti yang menimpa wartawan Radar Jogja, Rakyat Medeka, Tempo, dan saat ini Rakyat Merdeka Online.
Dengan sering dipakainya KUHP untuk menghukum pers dan jurnalis ditambah tiadanya upaya pemerintah untuk menghapus produk hukum kolonial tersebut telah menunjukkan rendahnya komitmen elit politik di Indonesia terhadap kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi. Itulah sebabnya pada 2004 Reporters Sans Frontieres menempatkan Indonesia pada urutan 117 (2004) dan 102 (2005) diantara 167 negara.
Hukum di Indonesia
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Di Indonesia pers mendapat perhatian dan ruang hukum dalam ranah hukum di negara ini. Bukan berarti kebebasab pers dikekang, akan tetapi hukum untuk mengatur segala kehidupan masyarakat. Kemerdekaan media bukan berarti kemerdekaan bagi media massa untuk menyiarkan informasi tanpa batas. Prinsip kemerdekaan pers dianggap vital karena kegunaan dan kemanfaatanya dalam masyarakat demokrasi, yaitu: mencari kebenaran, kontrol sosial dan partisipasi politik.
Pers dalam segala pemberitaan tidak boleh sembarangan memunculkan berita dalam masyaakat. Ada dua bentuk kontrol sebagai filter pemberitaan pers:
1. Kontrol Formal: Peraturanperundangan (Undang-undang, Regulasi yang dikeluarkan Badan Regulator), Lembaga sensor.
2. Kontrol Informal: Self Regulation, Kode Etik dan Tekanan Masyarakat.
Adapun perhatian terhadap pers ditunjukan dengan adanya hukum di Indonesia. Menurut Ade Armando, dalam Seminar Nasional ”Mengurai Delik Pers Dalam RUU KUHP“ di Hotel Sofyan Betawi, Kamis, 24 Agustus 2006, menyatakan hukum di Indonesia terbagi menjadi empat, yaitu:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2. UU Pers.
3. UU Penyiaran.
4. Peraturan-perundangan lain.
Tentang Delik Pers
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia delik berarti: “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”. Perbuatan yang dapat dihukum menurut undang-undang pidana contohnya seperti : Mencuri, membunuh, overspel, korupsi, dan sebagainya.
Delik pers adalah tindak pidana berupa pernyataan pikiran atau perasaan yang dilakukan memakai alat cetak. Delik itu menjadi sempurna karena dilakukan memakai publikasi. Karena suatu tindak pidana dilakukan memakai alat cetak atau publikasi, maka hal itu menjadi delik pers. Jadi pers tidak mempunyai posisi yang istimewa menyangkut tindak pidana yang dilakukan. Contoh, ketika saya menyatakan, "Orang-orang yang ada di dalam pemerintahan Megawati ini semuanya maling". Secara pribadi, saya bisa dijerat pasal-pasal pidana. Tapi kalau ucapan itu dilakukan oleh pers, maka orang-orang pers itulah yang terkena pasal. Jadi subjek hukum jangan dibedakan antara orang pers atau masyarakat sipil.
Namun, di dalam kasus pers, yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, ada code of conduct lebih khusus bagi penegak hukum. Ada yang disebut dengan hak jawab dan hak koreksi. Kalau hak jawab dan hak koreksi sudah dimuat secara proporsional, itu sudah selesai masalahnya. Mahkamah Agung harus memberikan fatwa, bahwa khusus menyangkut delik pers, tidak boleh langsung dituntut, tapi hak jawab dan hak koreksi harus ditegakkan terlebih dulu. Kalau hak jawab sudah dikirimkan orang-orang yang merasa dirugikan atas pemberitaan pers, tapi ternyata tidak dimuat, maka itulah tindak pidana yang dilakukan oleh pers. Pers yang mengabaikan hak jawab sama halnya melakukan tindak pidana.
Unsur-unsur delik merupakan perumusan, rincian ataupun gambaran dari suatu perbuatan, peristiwa atau apapun namanya yang dapat dihukum menurut undang-undang pidana. Unsur-unsur delik inilah yang menjadi materi pokok yang harus dibuktikan kebenarannya dalam suatu persidangan.
Sebagai contoh, Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan yang isinya:
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
Hukum pidana mempunyai ketentuan yang berhubungan dengan apa yang dikenal sebagai tindak pidana pers yang merupakan bagian dari tindak pidana dengan mempergunakan alat cetak (drukpers misdrijven). Oemar Seno Adji memberikan tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu tindak pidana pers (delik pers), yaitu:
1. Ia harus dilakukan dengan barang cetakan.
2. Perbuatan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan.
3. Dari perumusan delik harus ternyata bahwa publikasi merupakan suatu syarat untuk menumbuhkan kejahatan, apabila kenyataan tersebut dilakukan dengan suatu tulisan.
Kriteria yang ketigalah yang khusus dapat mengangkat suatu delik menjadi delik pers, sehingga tanpa dipenuhinya kriteria tersebut, suatu delik tidak akan memperoleh sebutan sebagai delik pers dalam arti juridis. (Oemar Seno Adji, Pers dan Aspek-aspek Hukum, Erlangga, 1977, dikutip dalam Rudi S. Mukantardjo, Tindak Pidana Pers Dalam R KUHP Nasional, makalah, 2006).
Delik Pers Dalam KUHP
Delik Pers dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dapat diklasifikasi menjadi beberapa bagian yaitu:
1. Pembocoran Rahasia Negara (Pasal 112 dan 113). Lama pidana pelanggaran pasal ini selama-lamanya maximal 7 tahun penjara.
2. Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (psl 134). Tindak pidana pelanggaran ini dihukum selama 6 tahun penjara.
3. Penghinaan terhadap Kepala Negara Sahabat (psl 142). Tindak pidana pelanggaran ini dihukum selama 5 tahun penjara.
4. Penghinaan terhadap Wakil Negara Asing (psl 143). Tindak pidana pelanggaran ini dihukum selama 5 tahun penjara.
5. Permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 154 dan 207). Tindak pidana pelanggaran ini dihukum selama 4 tahun penjara.
6. Pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan golongan (psl 156). Tindak pidana pelanggaran ini dihukum selama 7 tahun penjara.
7. Pelanggaran kesusilaan (Pasal 282 dan 283). Tindak pidana pelanggaran ini dihukum selama 1 tahun enam bulan penjara.
8. Penyerangan / pencemaran kehormatanatas nama baik seseorang (kecuali jikadilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri) (psl 310). Tindak pidana pelanggaran ini dihukum selama 9 tahun penjara.
9. Perasaan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama dan dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan yang Maha Esa (Pasal 156a). Tindak pidana pelanggaran ini di hukum selama 5 tahun hukuman penjara.
10. Penghasutan untuk melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti ketentuan Undang-Undang (Pasal 160). Tindak pidana pelanggaran ini dihukum selama 6 tahun penjara.
Delik Pers dalam R KUHP
1. Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (Pasal 212, 213, 214, 221, 222, 229, 230, 232)
2. Kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 265 dan 266)
3. Kejahatan Terhadap Negara Sahabat (Pasal 271, 272, 273, 274)
4. Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum (Pasal 283, 284, 285, 287, 288, 289, 291, 292, 307, 308, 342, 345, 346)
5. Kejahatan Terhadap Proses Peradilan (Pasal 327 dan 32)
6. Kejahatan Terhadap Penguasa Umum (Pasal 407 dan 40)
7. Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Pasal 470, 471, 472, 474, 476, 483, 484)
8. Penghinaan (Pasal 531, 532, 534, 536, 537, 539, 540, 542, 543)
9. Kejahatan Penerbitan dan Percetakan (Pasal 739, 740, 741)
10. Pencabutan Hak Untuk Menjalankan Profesi (Pasal 91)
Delik Pers diluar KUHP
a. Undang-undang Pers Pasal 5
1. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
2. Pers wajib melayani Hak Jawab.
3. Pers wajib memiliki Hak Tolak.
(Pidana Denda Maksimal Rp 500 juta)
Pasal 4 ayat (2) dan (3)
1. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
2. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
(Pidana 2 tahun penjara, Denda Rp. 500 juta)
b. Dewan Pers
Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen (UU Penyiaran, Pasal 15). Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.
2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.
3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
4. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
c. UU Penyiaran 2002: Pidana
Pidana selama 5 tahun dengan denda sebesar Rp. 5 miliar untuk stasiun Radio atau sebesar Rp. 10 miliar Televisi:
1. Siaran berisi: fitnah, hasutan, menonjolkan, unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, mempertentangkan SARA.
2. Siaran yang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
d. UU Penyiaran 2002
1. Menetapkan pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia sebagai badan independen pembuat regulasi penyiaran.
2. KPI harus menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standard Program Siaran (P3/SPS).
e. Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran P3/SPS
1. P3/SPS menetapkan:
a. Apa yang diizinkan dan tidak diizinkan dalam proses pembuatan program tayangan
b. Apa yang diizinkan dan tidak diizinkan termuat dalam program tayangan
2. P3/SPS wajib dipatuhi setiap lembaga penyiaran
f. Prinsip Jurnalistik dalam P3/SPS
1. Akurat.
2. Adil: praduga tak bersalah, hak yang dikritik untuk menjawab.
3. Tidak Berpihak/Netral: pembawa acara/moderator harus berusaha agar narasumber dapat secara baik mengekspresikan pandangannya.
4. Memperlakukan narasumber dengan fair.
g. Peliputan Kekerasan
1. Gambar luka-luka yang diderita korban kekerasan, kecelakaan, dan bencana tidak boleh disorot secara close up.
2. Gambar korban kekerasan tingkat berat, serta potongan organ tubuh korban dan genangan darah yang diakibatkan tindak kekerasan, kecelakaan dan bencana, harus disamarkan.
h. Privasi
Pelaporan mengenai konflik dan hal-hal negatif dalam keluarga, misalnya konflik antar anggota keluarga, perselingkuhan, dan perceraian harus disajikan dalam cara tidak berlebihan dan senantiasa memperhatikan dampak yang mungkin ditimbulkan terhadap keluarga yang terkait maupun terhadap masyarakat luas.
Kesimpulan
Kemerdekaan menyatakan pendapat merupakan hak rakyat dan merupakan media untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, harus dipertahankan oleh rakyat dari tindakan-tindakan yang secara langsung atau tidak langsung dapat mengurangi atau meniadakan keberadaan dan makna kemerdekaan itu. Tindakan yang secara langsung atau tidak langsung dapat mengurangi atau meniadakan kemerdekaan itu berasal dari dua hal. Pertama adalah tindakan yang dilakukan oleh pihak di luar yang menyatakan pendapat (sasaran kritik) sehingga berakibat mengurangi atau bahkan meniadakan kemerdekaan itu. Kedua, tindakan yang dilakukan oleh pihak yang menyatakan pendapat sehingga menimbulkan bentuk tindakan penyalahgunaan pelaksanaan dari kemerdekaan itu.
Dengan adanya potensi tindakan-tindakan yang dapat mengurangi atau bahkan meniadakan makna dari kemerdekaan tersebut, maka usaha yang rasional dari rakyat adalah menuntut adanya jaminan hukum tidak adanya tindakan yang secara langsung atau tidak langsung berakibat tidak merdekanya rakyat dalam melaksanakan kemerdekaan menyatakan pendapat dalam bentuk kritik terutama yang ditujukan terhadap pemerintah (penguasa). Juga diperlukan adanya aturan untuk mencegah jangan sampai terjadi penyalahgunaan dalam pelaksanaan dari kemerdekaan itu
Di dalam segala tindakan sosial diperlukan adanya batas-batas untuk kemerdekaan itu. Batas ini mempunyai nilai perlindungan baik bagi pihak yang menyatakan pendapat, maupun bagi pihak yang menjadi sasaran atau obyek dari pernyataan pendapat tersebut. Pihak di sini dapat diartikan perseorangan, kelompok atau golongan masyarakat, dan bahkan juga negara.
Batas-batas tersebut adalah hukum, bilamana yang dimaksudkan sebagai hukum adalah “keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.” atau “hukum bertugas sebagai penjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan masyarakat seperti pendapat dari Utrecht”. Dalam persoalan yang berhubungan dengan kebebasan pers maka tidak ada yang dinamakan dengan kebebasan yang mutlak. Kebebasan yang dimiliki oleh seseorang akan berhenti apabila melanggar kebebasan orang lain atau melanggar kepentingan umum. Kebebasan orang lain atau melanggar kepentingan umum terrefleksikan di dalam hukum.
Selama ini pers merupakan bagian dari demokrasi. Kebebasan bagi pers bukan berarti pers diperbolehkan melakukan kegiatan sebebas-bebasnya, akan tetapi pers dituntut untuk selalu memperhatikan nilai-nilai moral dan dengan tanpa mengusik hak asasi manusia. Keberadaan delik pers dalam KUHP, UU Pers maupun peraturan-peraturan lain soal pers dimaksud untuk memfilter atau mengontrol pers agar tindakan pers dapat dijalankan sewajarnya. Pers harus profesional, bebas, tapi tetap bertanggung jawab kepada hukum.
Refrensi :
Assegaff, Djafar H. 2002. Perlawanan dalam Kungkungan. Jakarta: Spora Pustaka
Heryanto, Areil dkk. 1994. Pers Hukum dan Kekuasaan. Yogjakarta: Bentang
Wahidin, Samsul. 2006. Hukum Pers. Yogjakarta: Pustaka Pelajar
Wiryawan, Hary. 2007. Dasar-dasar Hukum Media. Yogjakarta: Pustaka Pelajar
trimakasih yaaa atas postingannya :) ini yg saya cari.
BalasHapus